journey healthy future

Tampilkan postingan dengan label Ebook (Epid). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ebook (Epid). Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Januari 2014

Pedoman Penggunaan Insektisida Dalam Pengendalian Vektor

Penyakit tular vektor merupakan penyakit yang menular melalui hewan perantara (vektor) penyakit. Contohnya antara lain malaria, Demam Berdarah Dengue, Chikungunya, Japanese B Encephalitis (radang otak), filariasis limfatik (kaki gajah), pes (sampar) dan demam semak (scrub typhus). Penyakit tersebut hingga kini merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).

Penanggulangan   penyakit tular vektor adalah selain dengan pengobatan terhadap penderita, juga dilakukan upaya-upaya pengendalian vektor termasuk upaya mencegah kontak dengan vektor guna mencegah penularan penyakit. Satu di antaranya adalah cara pengendalian vektor adalah dengan menggunakan insektisida.

Karena    pada    dasarnya    semua    insektisida    adalah racun, maka penggunaannya harus penuh dengan kehati-hatian dengan mempertimbangkan aspek keamanaan bagi kesehatan masyarakat, petugas, serta lingkungannya. Selain itu, upaya pengendalian vektor juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek efektifitas dan efisiensi serta bioekologi vektor dan dinamika penularan penyakit di masing-masing wilayah.

Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut di atas dan agar penggunaan insektisida memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam pengendalian vektor, maka pelaksanaannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Pedoman ini memuat standar dan persyaratan penggunaan insektisida   untuk   pengendalian vektor termasuk bahan, peralatan dan tenaga pelaksananya, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 9 Permenkes No 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor. Pedoman ini disusun sebagai panduan bagi penentu kebijakan dan petugas lapangan baik pemerintah maupun swasta/dunia usaha, serta masyarakat  dalam menggunakan insektisida untuk pengendalian vektor di lingkungan atau lingkup kerja masing-masing.

Untuk membaca dan mendownload KLIK DISINI ya,,,,

Senin, 31 Oktober 2011

Panduan Petugas Kesehatan Tentang International Health Regulations (IHR)

Globalisasi serta semakin cepatnya dan singkatnya perjalanan lintas dunia untuk perdagangan, wisata, bisnis dan transportasi barang maka permasalahan kesehatan lokal dapat menjadi perhatian dan masalah dunia. Dengan adanya Peraturan Kesehatan Internasional/International Health Regulations 2005 (IHR 2005) untuk mengatur tata cara dan pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular, seperti efek dari Nuklir, Biologi dan Kimia (Nubika).

Buku Panduan ini ditujukan untuk memudahkan bagi para petugas baik di bidang Kesehatan maupun Non-Kesehatan dalam memahami dan melaksanakan Peraturan Kesehatan Internasional.

Dengan buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka terjaminnya pelaksanaan cegah tangkal penyakit dan gangguan kesehatan yang merupakan kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC).

Yang mau download klik DI SINI,,,,

Senin, 18 Juli 2011

Penanganan Anak Diare Di Rumah

Diare adalah Buang Air Besar (BAB) dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam 1 hari). Khusus pada neonatus (bayi yang berumur kurang dari 1 bulan) yang mendapat ASI, biasanya buang air besarnya (berak) dengan frekuensinya lebih sering (biasanya 5 – 6 kali per hari) tetapi konsistensi tinjanya baik, ini bukan Diare. Seseorang/bayi/balita dapat terkena diare bila makan makanan/minuman yang tercemar.

Di dalam ebook ini akan dijabarkan bagaimana cara mengatasi diare di rumah. Berikut sedikit gambaran bagaimana mengatasi diare di rumah :

Segera beri banyak minum dengan ORALIT (cairan terbaik untuk mengganti cairan yang hilang).
Setiap kali anak berak,
Beri Oralit:
  • Umur kurang 1 tahun (¼ - ½ gelas)
  • Umur 1 – 4 tahun (½ – 1 gelas)
  • Umur diatas 5 tahun (1 – 1 ½ gelas)
Bila Oralit tidak tersedia beri cairan yang tersedia di rumah tangga seperti: kuah sayur, kuah sup, air tajin, sari buah, air teh, air matang.



Segera ke Puskesmas untuk mendapatkan obat Zinc.
  • Obat Zinc diberikan pada penderita diare balita
  • Mempercepat penyembuhan
  • Diharapkan dapat melindungi anak dari diare 2 – 3 bulan kedepan
  • Menambah nafsu makan
Teruskan pemberian makanan
  • Pada bayi yang masih mendapatkan ASI, teruskan pemberian ASI lebih sering dan lebih lama.
  • Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat. Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3 – 4 jam).
  • Jika diare sudah berhenti maka balita sebaiknya diberi makanan tambahan sampai 2 minggu.
Demikan gambaran singkat bagaimana mengatasi diare di rumah. Untuk membaca lebih lengkap ebook ini dilahkan di download di SINI.... salam sukses selalu buat teman-teman....he he

Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare pada Balita

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara berkembang seperti di Indonesia karena angka kesakitan dan kematiannya yang masih tinggi. Survey morbiditas yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2006 angka kesakitan diare semua umur sebesar 423 per 1000 penduduk, angka kesakitan ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil survey yang sama pada tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk, tahun 2003 sebesar 374 per 1000 penduduk, walaupun hasil survey 2010 terjadi penurunan yaitu sebesar 411 per 1000 penduduk tetapi penurunan itu sangat kecil. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare masih sering terjadi terutama di wilayah dengan faktor risiko, kesehatan lingkungan yang jelek serta perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masih rendah.

Jumlah KLB pada tahun 2008 terjadi 49 KLB dengan jumlah penderita 8.133 orang, meninggal 239 orang (CFR 2,94%), tahun 2009 terjadi 24 KLB dengan jumlah penderita 5.756 orang, meninggal 100 orang (CFR 1,74%) dan pada tahun 2010 terjadi 33 KLB dengan jumlah penderita 4.204 orang meningggal 73 orang (CFR 1,74%).

Kematian Bayi dan Balita masih sangat tinggi di Indonesia, data SDKI tahun 2003 menunjukkan angka kematian bayi 35 per 1000 kelahiran hidup dan dari survey yang sama SDKI tahun 2007 menunjukkan angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran, berarti hanya terjadi penurunan 1 point selama rentan waktu 4 tahun. Begitupun dengan angka kematian balita SDKI tahun 2003 menunjukkan angka 46 per 1000 kelahiran hidup dan SDKI tahun 2007 menunjukkan angka 44 per 1000 kelahiran hidup, hanya terjadi penurunan 2 point dalam rentan waktu 4 tahun.

Dari hasil RISKESDAS 2007, Diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita, hal ini sangat disayangkan mengingat pengobatan diare tidak terlalu sulit.



Sesuai rekomendasi WHO/UNICEF dan IDAI, sejak tahun 2008 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperbaharui tata laksana diare yang dikenal dengan “LINTAS DIARE” (Lima Langkah Tuntaskan Diare) sebagai salah satu strategi dalam pengendalian penyakit diare di Indonesia.

Lintas Diare meliputi pemberian oralit, Zinc selama 10 hari, teruskan pemberian ASI dan makanan, antibiotik selektif serta nasihat bagi ibu/pengasuh.

Studi WHO membuktikan bahwa pemberian Zinc, dapat mengurangi durasi diare akut sebesar 25%, mengurangi durasi diare persisten sebesar 29%.

Masyarakat telah mengenal oralit sebagai obat sejak tahun 1970, sedangkan penggunaan Zinc sebagai obat baru dalam tatalaksana diare belum banyak dikenal sehingga perlu mensosialisasikan Zinc kepada masyarakat agar masyarakat menggunakan Oralit dan Zinc sebagai obat diare.

Mau baca lebih lengkap??? download di sini yah....

Selasa, 12 April 2011

WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance

Deaths from acute respiratory infections, diarrhoeal diseases, measles, AIDS, malaria and tuberculosis account for more than 85% of the mortality from infection worldwide. Resistance to firest-line drugs in most of the pathogens causing these diseases ranges from zero to almost 100%. In some instances resistance to second-and third-line agents is serously compromizing treatment outcome. Added to this is the significant global burden of resistant hospital-acquired infections, the emerging problems of drug resistance in the neglected parasitic disease of poor and marginalized population.

Resistance is not a new phenomenon; it was recognized early as a scientific curiosity and then as a threat to effective treatment outcome. However, the development of new families of antimicrobials throughout the 1950s and 1960s and of modifications of these molecules through the 1970s and 1980s allowed us to believe that we could always remain ahead of the pathogens. By the turn of the century this complacency had come to haunt us. The pipeline of new drugs is running dry and the incentives to develop new anti-microbials to address the global problems of drug resistance are weak.

Resistance costs money, livelihoods and lives and threatens to undermine the effectiveness of health delivery programmes. It has recently been described as a threat to global stability and national security. A few studies have suggested that resistant clones can be replaced by susceptible ones; in general, however, resistance is slow to reverse or irreversible.

Antimicrobial use is the key driver of resistance. Paradoxically this selective pressure comes from a combination of overuse in many parts of the world, particularly for minor infections, misuse due to lack of acces to appropriate treatment and under-use due to lack of financial support to complete treatment courses.



Resistance is only just beginning to be considered as a societal issue and, in economic terms, as a negative externality in the health care context. Individual decisions to use antimicrobials (taken by the consumer alone or by the decision-making combination of health care worker and patient) often ignore the societal perspective and the perspective of the health service.

The World Health Assembly (WHA) Resolution of 1998 (1) urged Member State to develop measures to encourage appropriate and cost effective use of antimicrobials, to prohibit the dispensing of antimicrobials without the prescription of a qualified health care professional, to improve practices to prevent the spread of infection and thereby the spread of resistant pathogens, to strengthen legislation to prevent the manufacture, sale and distribution of counterfeit antimicrobials and the sale of antimicrobials on the informal market, and to reduce the use of antimicrobials in food-animal production. Countries were also encouraged to develop sustainable systems to detect resistant pathogens, to monitor volumes and patterns of use of antimicrobials and the impact of control measures.

Since the WHA Resolution, many countries have expressed growing concern about the problem of antimicrobial resistance and some have developed national action plans to address the problem. Despite the mass of literature on antimicrobial resistance, there is depressingly little on the true costs of resistance and the effectiveness of interventions. Given this lack of data in the face of a growing realization that actions need to be taken now to avert future disaster, the challenge is what to do and how to do it.

Download full ebook Now...

Kamis, 24 Maret 2011

The Global Plan to Stop TB 2011-2015

A pandemic, by definition, plays out on a massive scale. Therefore controlling it requires a comparable scale of international consensus and commitment. This means having a sound roadmap that sets forth internationally agreed strategies for prevention, diagnosis and treatment, and research for improving all three; plus a clear plan for implementing those strategies worldwide. The global fight againts TB benefits from broad alignment on both.

In 2005, the World Health Organization (WHO) developed the Stop TB Strategy as an evidence-based approach to reducing the burden of TB. Today, governments around the world have voiced their commitment to its key principles of achieving universal acces to high-quality TB care, reducing human suffering, reaching out to vulnerable populations, protecting human rights and supporting the development and use of new tools.

In 2001, the Stop TB Partnership launched the Global Plan to TB 2001, the Stop TB Partnership launched the Global Plan to Stop TB 2001-2005. In 2006, a more advanced plan for transforming these principles into action was issued: the Global Plan to Stop TB 2006-2015. Since then the Plan has garnered the world’s confidence as a roadmap for dramatically reducing the global burden of TB by 2015.

We are now at the half-way mark, and it is a fitting moment to look at where we are and where we hope to go. This revised and updated plan further illuminates the way forward to 2015 by taking into account progress since 2006, updates on epidemiology, policy and costs related to multidrug-resistant TB and TB/HIV; the importance of urgently giving a higher profile to laboratory strengthening; and the need to address the full spectrum of TB research in a coherent and coordinated manner.

TB is an ancient illness. By all rights – as a bacterial disease that is curable with antimicrobial drugs – it should belong to the past. In 2006, when the Global Plan to Stop TB 2006-2015 was launched, the epidemic was still believed to be growing by about 1% each year. The fruits of implementing the Stop TB Strategy and the Global Plan to Stop TB are now evident. The epidemic is in a steady, although modest and slow, decline.

Nonetheless more than 9 million people still develop active TB each year and nearly 2 million die. These figures should not inspire hopelessness, but rather an acknowledgement that TB is a unique pandemic. A third of the world’s population harbours latent TB infection, which can emerge at any time as an airborne and transmittable disease. Reducing this human reservoir of infection will require many years of steady and untiring effort –plus more effective tools than we have at our disposal today.

Download full ebook Now...

Rabu, 19 Januari 2011

Pandemi Influenza “Panduan Praktis Bagi Masyarakat”

Sejarah telah mencatat, pada abad yang lalu telah terjadi tiga kali peristiwa pandemi influenza yaitu: “Flu Spanyol” di Amerika Serikat akibat penyebaran virus Influenza (H1N1) tahun 1918-1919 yang telah menyebabkan kematian sekitar 40-50 juta orang; kemudian peristiwa ke dua yaitu “Influenza Asia (H2N2)” yang menyebabkan kematian sekitar 2-4 juta penduduk; serta kejadian ke tiga berupa” Flu Hongkong (H3N2)” pada tahun 1968 dan menyebabkan kematian sekitar 1 juta orang.

Sehubungan dengan hal tersebut, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperingatkan semua negara bahwa virus Avian Influenza (H5N1) yang saat ini telah menyebar di banyak negara di Dunia, berpotensi risiko signifikan untuk menyebabkan terjadinya pandemi Influenza berikutnya pada manusia, yang kemungkinan sama hebatnya dengan pandemi yang terjadi pada tahun 1918/1919 yang bakal menyebabkan kematian jutaan orang di seluruh dunia.

Ancaman terjadinya pandemi influenza sungguh nyata namun kita tidak mampu menyebutkan kapan akan terjadinya. Tetapi yang lebih penting kewaspadaan dan kesiapsiagaan agar dapat meresponnya secara cepat dan tepat. Untuk itu, diperlukan suatu Pedoman praktis untuk semua masyarakat agar memahami peran dan tanggung jawab masing-masing serta siap menghadapi dan bergerak cepat untuk mengurangi dampaknya begitu Pandemi Influenza terjadi.

Download selengkapnya di sini...

Surat Keterangan Akreditasi FKM UNDIP

Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi tentang Akreditasi FKM UNDIP... Silahkan download file di bawah ini... file sudah saya perb...

Find Us on Facebook

Blog Archives

Do Before You Die

Do Before You Die

Visitors


pinjaman utang