journey healthy future

Tampilkan postingan dengan label Farmasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Farmasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Mei 2011

Pemakaian Obat Bebas Tanpa Resep Tepat Risikonya...?

Dari hasil survei jelas, bahwa upaya mengobati diri sendiri merupakan pilihan yang paling utama dari anggota masyarakat. Tujuannya sebagai langkah awal mengatasi gangguan kesehatan yang dialaminya.

PEMAKAIAN obat-obat bebas tanpa resep dokter, yang merupakan cara pengobatan sendiri, mungkin merupakan salah satu pilihan yang terbanyak saat ini dilakukan masyarakat, dalam usaha mengatasi penyakit yang dideritanya pada tahap awal.

Sekadar untuk mengatasi demam, pening kepala ataupun mencret, mereka sudah terbiasa membeli 2 atau 3 butir tablet ke warung-warung sekitar tempat kediamannya, ataupun mempergunakan obat-obat yang masih tersisa pada waktu dia sakit dengan gejala yang sama sebelumnya, yang diberikan oleh dokter.

Rasanya kalau hanya penggunaan obat-obatan yang tidak berbahaya, tanpa harus menunjukkan resep dokter, cara pengobatan yang demikian masih dapat dimengerti.

Sekarang ini sudah sedemikian banyak beredar obat-obat untuk penyakit-penyakit yang paling sering dialami oleh masyarakat, umumnya mudah sekali didapatkan secara bebas.

Contoh, lihatlah Pak Budi. Sudah beberapa hari ini dia mengeluh sakit kepala yang dirasakannya sangat mengganggu kegiatannya. Sakit kepalanya itu sesekali disertai pula dengan perasaan oyong. Dia sudah mempergunakan beberapa jenis obat yang dapat dibelinya dengan bebas di kedai Pak Saman di samping rumahnya. Apa saja obat sakit kepala yang pernah dibacanya dikoran atau dilihatnya melalui televisi, atau juga seperti yang pernah dianjurkan oleh teman-temannya, sudah pernah dicobanya. Namun sampai sekarang sakit kepalanya tidak kunjung sembuh dengan sempurna. Bila obat baru dimakannya, memang terasa sakit kepalanya agak berkurang, tetapi beberapa waktu kemudian sakit kepalanya akan kumat kembali.

Salahkah Pak Budi, jika dia mencoba mengatasi keluhan sakit kepalanya dengan mencoba mengatasi penyakitnya itu melalui obat-obatan yang dijual bebas di pasaran, tanpa harus dengan resep dokter?



Pertanyaan seperti ini agak sukar juga untuk menjawabnya dengan tepat, karena banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Orang-orang seperti Pak Budi ini, yang mencoba mengobati dirinya sendiri sejak awal gejala penyakit yang dialaminya, cukup banyak. Ada pula orang lain yang sudah bosan berobat ke dokter atau ke rumah sakit, karena biasanya penyakitnya merupakan penyakit yang menahun, akhirnya juga mengambil jalan pintas. Dia kembali mengobati dirinya sendiri dengan obat-obatan yang bertukar dari satu ke satu obat yang lain, sesuai dengan anjuran teman-temannya.

Mungkin juga keluarga anda atau juga anda sendiri, yang sudah menderita penyakit kencing manis bertahun-tahun, atau menderita penyakit tekanan darah tinggi yang sudah berobat dari seorang dokter ke dokter yang lainnya, atau juga penderita penyakit rematik yang selalu kambuh tak kunjung sembuh, akan mencoba mencari penyembuhan dengan mengobati diri sendiri dengan mencoba berbagai jenis obat, jamu dan obat-obat tradisional lainnya.

Pemakaian obat-obatan tanpa resep dokter ini, yang merupakan pengobatan sendiri, sebenarnya ada baiknya juga, asal saja diingat bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang biasa-biasa saja dan ringan. Lagi pula obat- obatan yang dipergunakan adalah obat obatan yang memang boleh diperjual belikan secara bebas, tanpa harus mempergunakan resep dokter. Obat-obatan seperti ini ditandai dengan adanya lingkaran berwarna hijau pada kemasan obat tersebut, apakah itu didapatkan pada bungkusnya, kotaknya ataupun pada botolnya.

Tetapi tentu saja pengobatan diri sendiri dengan obat-obatan yang berbahaya, yang seharusnya hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna biru atau merah), tidak dapat dipergunakan secara sembarangan dan serampangan saja. Obat-obatan seperti ini indikasi pemakaiannya harus jelas, takarannya harus tepat, karena kemungkinan efek sampingnya atau akibat lainnya yang disebabkan kesalahan penggunannya bisa berbahaya.

Walaupun ada orang yang beranggapan bahwa pengobatan sendiri ini, merupakan peninggalan cara pengobatan dimasa lalu, atau dilakukan oleh mereka-mereka yang berpendidikan rendah dan ekonomi kurang baik, kenyataannya sekarang ini tidaklah demikian. Tidak jarang mereka yang keadaan ekonominya cukup baik serta mempunyai pendidikan yang tinggi, mungkin disebabkan bahwa penyakitnya hanyalah penyakit yang ringan saja, mereka akan mencoba mengatasinya dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas di pasaran.

Yang dimaksud dengan pengobatan sendiri adalah penggunaan obat-obatan atas prakarsa dan inisiatip penderita sendiri ataupun atas inisiatip keluarganya. Bagaimanakah perkembangan pengobatan diri sendiri ini di negara kita, sekarang ini. Dari survei yang pernah dilakukan oleh Biro Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional beberapa waktu lalu yang melibatkan sekitar sepuluh sampai dua puluh juta penduduk yang menderita sakit pada waktu tertentu.

Dari survei ini jelas, bahwa mengobati diri sendiri merupakan pilihan yang paling utama dari anggota masyarakat, dalam mengatasi gangguan kesehatan yang dialaminya.

Penduduk di pedesaan bila dibandingkan dengan penduduk di daerah perkotaan, ternyata sedikit lebih banyak mengobati dirinya sendiri. Mungkin hal ini ada kaitannya dengan masalah sarana pengobatan dikota yang diperkirakan jauh lebih baik daripada di pedesaan, tetapi hal ini juga menunjukkan bahwa obat-obat bebas juga banyak beredar di desa-desa terpencil.

Penyakit-penyakit yang paling sering ditanggulangi dengan cara pengobatan sendiri ini, adalah penyakit-penyakit yang paling mudah dikenali, penyakit-penyakit yang gejala-nya diketahui dengan baik oleh sebagain besar masyarakat kita, seperti demam malaria, batuk darah dan sebagainya.

Di antara penyakit-penyakit tersebut demam malaria merupakan penyakit yang paling banyak diobati sendiri, lalu berturut-turut penyakit dalam, muntah mencret, campak dan batuk darah.

Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pula dia berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Di pedesaan umpamanya, mereka yang sama sekali tidak pernah mengalami pendidikan, paling banyak mencoba mengobati dirinya sendiri, kalau dia sakit.

Sedangkan mereka yang pernah mendapatkan pendidikan lebih baik akan terlihat persentasenya lebih kecil.

Keadaan diperkotaan juga demikian. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak yang memilih cara pengobatan sendiri. Hal ini perlu sekali diperhatikan, kalau obat-obatan yang seharusnya diberikan dengan resep dokter, juga bisa didapatkan dengan bebas. Bisa-bisa nantinya masyarakat di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah menjadi korban pemakaian yang tidak benar. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penyakit yang selalu dicoba untuk diobati sendiri, baik didesa ataupun dikota, adalah penyakit yang berlangsung, singkat, 3-7 hari.

Dapatlah dilihat bahwa mengobati diri sendiri, merupakan pilihan pengobatan yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat kita, ketika dia jatuh sakit. Tentunya masalah ini sama sekali tidak bisa diabaikan begitu saja, dalam usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan, khususnya dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus ditingkatkan terus menerus. Peranan petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan tentunya sangat besar sekali, sehingga ketidaktahuan masyarakat tentang obat bebas yang dipergunakannya dapat diperkecil. Dengan demikian mereka tidak akan menjadi korban dari kesalahan mereka sendiri, dalam mempergunakan obat-obat tersebut.

Mengobati diri sendiri ketika menderita suatu penyakit, apapun alasannya, sudah merupakan suatu pilihan yang paling utama, dari sebagian masyarakat kita. Disamping kebaikannya yang cukup banyak, tentu pula kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan akibat pemakaian obat-obat itu cukup besar pula.

Kalau anda mempergunakan obat-obat bebas tanpa resep dokter itu, termasuk obat-obat tradisional ataupun jamu, perhatikanlah hal-hal berikut:

Apakah obatnya masih baik atau tidak, lihat tanggal kedaluwarsanya.

Bacalah dengan baik keterangan tentang obat tadi pada brosurnya.

Lihat indikasi penggunaan, yang merupakan petunjuk kegunaan obat untuk penyakit.

Perhatikan dengan baik dosis yang dipergunakan, untuk dewasa atau anak-anak.

Lihat pula dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat. Perhatikan peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat.

Perhatikan pula tentang kontra indikasi dan efek samping. Di samping itu perhatikan pula tentang cara penggunaan tablet, kalau obat bebas itu dalam bentuk tablet: Apakah tabletnya harus ditelan. Apakah tabletnya harus diisap seperti permen. Apakah harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan. Apakah tabletnya harus dilarutkan terlebih dahulu sebelum dipergunakan.

Oleh : dr.Syamsul Bihar (analisadaily.com)

Minggu, 03 April 2011

Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Akibatkan Resistensi

Antibiotik paling banyak digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara berkembang. Sayangnya, 40 persen anak-anak yang menderita diare akut di negara berkembang diberikan antibiotik tidak tepat. Sedangkan untuk penderita pneumonia, hanya 50-70 persen yang mendapat pengobatan antibiotik secara tepat.

“Padahal penggunaan antibiotik yang tinggi dan tidak tepat menimbulkan berbagai permasalahan dan menjadi ancaman global bagi kesehatan, yaitu terjadinya resistensi atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik”, ujar Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada acara temu media untuk memperingati Hari Kesehatan Sedunia (HKS) ke-60 Kamis (31/3) kemarin, di Cibitung, Bekasi.

Menurut Dirjen Binfar dan Alkes, banyak ditemukan beberapa kuman yang kebal terhadap antibiotik di seluruh dunia, antara lain : methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant enterococci (VRE), dan Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan extended-spectrum betalactamase (ESBL). Jika hal ini terus berlanjut, maka antibiotik tidak lagi memberi efek antibakteri optimal, sehingga banyak penyakit infeksi yang tidak dapat disembuhkan.

Dra. Sri Indrawaty menambahkan, berdasarkan hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti bahwa dari 2.494 individu di masyarakat, 43 persen Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, antara lain ampisilin, 34persen, ko-trimoksazol, 29 persen dan klorafenikol, 25 persen.

Sementara pada pasien yang dirawat di rumah sakit terdapat 81 persen Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, antara lain : ampisilin, 73 persen, ko-trimoksazol, 56 persen, kloramfenikol, 43 persen, siprofloksasin, 22 persen dan gentamisin, 18% persen.

Untuk menghambat perkembangan kekebalan kuman terhadap antibiotik, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengajak seluruh dunia menggunakan antibiotik secara tepat. Kampanye ini diangkat menjadi tema peringatan Hari Kesehatan Sedunia ke-60 yaitu : Use Antibiotics Rationally sedangkan Indonesia menetapkan tema “Gunakan Antibiotik Secara Tepat Untuk Mencegah Kekebalan Kuman” diangkat pada Hari Kesehatan Sedunia tahun ini.

Menurut Sri Indrawaty, antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, yang dapat menghambat atau membunuh mikroba jenis lain. Kekebalan atau resisten adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antimikroba.

“Cara tepat pengendalian resistensi antibiotik adalah dengan penggunaan antibiotik secara bijak dan peningkatan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar pada fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara pengendalian penyebaran kuman resisten dapat dilakukan dengan cara membiasakan mencuci tangan dengan sabun/antiseptik’, kata Dirjen Binfar dan Alkes.

Dia menambahkan penggunaan antibiotik yang benar yaitu harus sesuai dengan resep dokter, baik dosis maupun jangka waktu penggunaan, tidak menggunakan antibiotik berdasarkan resep sebelumnya. Kesalahan dalam penggunaan antibiotik dapat menyebabkan antibiotik menjadi tidak efektif lagi sehingga menyebabkan kekebalan kuman dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. “Batuk, pilek dan diare pada umumnya tidak memerlukan antibiotik”, ujar Sri Indrawaty.



Sementara, Dra. Endang Woro, Apt, M.Kes., Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kepada para wartawan menjelaskan prosedur yang ditempuh untuk menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat dilakukan pengawasan pre dan post market. Pengawasan pre market yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum obat diedarkan untuk memastkan khasiat, keamanan, mutu termasuk pemenuhan cara produksi obat yang baik (CPOB) dan kebenaran informasi produk obat yang beredar.

Sedangkan pengawasan post market dilakukan setelah obat diedarkan. Meliputi pemantauan keamanan dan konsistensi jaminan mutu obat yang beredar. Pada pengawasan post market ini, BPOM melakukan sampling, kemudian dilakukan pengujian untuk mengetahui obat memenuhi syarat khasiat, keamanan dan mutu atau tidak. Bila tidak memenuhi syarat maka ditindaklanjuti dengan inspeksi, recall (penarikan) dan atau peringatan. (tempointeraktif.com)

Surat Keterangan Akreditasi FKM UNDIP

Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi tentang Akreditasi FKM UNDIP... Silahkan download file di bawah ini... file sudah saya perb...

Find Us on Facebook

Blog Archives

Do Before You Die

Do Before You Die

Visitors


pinjaman utang