journey healthy future

Tampilkan postingan dengan label Gangguan Jiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gangguan Jiwa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 September 2018

Kenali Tanda Penyakit Skizofrenia Sejak Dini

Jakarta, CNN Indonesia -- Skizofrenia bisa menyerang siapa saja. Penyakit mental yang mengganggu pikiran dan persepsi ini kerap menyerang individu berusia 16-30 tahun.

Penyakit skizofrenia menyerang sekitar lebih dari 23 juta orang di dunia. Sementara di Indonesia, prevalensi gangguaan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu orang.

Meski penyebab skizofrenia tak diketahui, namun pengaruh genetik dan faktor lingkungan sosial dipercaya sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan penyakit mental satu ini.

Sampai saat ini, tak ada metode pasti untuk mencegah skizofrenia. Namun, mengenali tanda penyakit skizofrenia sejak dini dipercaya mampu mencegah potensi berkembangnya gangguan. 

Berikut melansir Medical Daily, beberapa tanda dini penyakit skizofrenia yang bisa Anda cermati.

1. Menjauhkan diri dari lingkungan sosial

Seseorang yang menolak interaksi dengan keluarga atau teman biasanya lebih senang untuk mengisolasi diri. Kebiasaan itu bisa memengaruhi rutinitas harian mereka seperti bolos sekolah atau kerja serta absen dari berbagai agenda sosial lainnya.

Orang-orang jenis ini merasa tak tertarik dengan situasi-situasi ramai yang ujung-ujungnya 'melenyapkan' gairah hidup mereka.

2. Tingkat kebersihan yang buruk

Kondisi kebersihan pribadi yang memburuk bisa jadi tanda awal penyakit skizofrenia. Perlahan mereka bakal meninggalkan kebiasaan harian seperti mandi, menyikat gigi, atau mengganti pakaian yang digunakan.

Memburuknya kebersihan diri itu merupakan akar dari sikap apatis, emosi datar, dan pengabaian diri. Dalam beberapa kasus, penderita skizofrenia sama sekali tak peduli dengan kebersihan dan penampilan mereka.

3. Percaya dengan gangguan supranatural

Literatur media telah menunjukkan kaitan antara kepercayaan akan kekuatan supranatural dengan berbagai aspek skizofrenia.

"Penderita skizofrenia kerap mengalami delusi dan halusinasi yang bersifat supranatural. Ada sebuah bukti yang membuktikan bahwa tingkat kepercayaan memengaruhi level gangguan kejiwaan seseorang," tulis Indian J Psychol Med dalam literaturnya.

Gejala itu berbentuk paranoia dan semakin menjauhkan penderita dengan kenyataan. Pada tahap awal, seseorang akan memperlihatkan delusinya seperti merasa dihantui oleh kekuatan roh jahat.

4. Gerak-gerik yang aneh

Gerakan atau ekspresi tertentu dapat diamati sejak tahap awal penyakit skizofrenia. Ekspresi wajah kosong, ujung mulut yang kerap bergerak, dan jarang berkedip bisa menjadi tanda awal penyakit skizofrenia.

Selain itu, gerakan lain seperti kerap mondar-mandir dan seolah bergetar ketakutan juga bisa jadi penanda awal skizofrenia.

5. Halusinasi suara

Halusinasi pada penderita skizofrenia akan terjadi pada kelima indera manusia. Namun, indera pendengaran adalah yang paling sering terganggu. 

Lebih dari 70 persen penderita skizofrenia dilaporkan mendengarkan suara-suara 'gaib' yang tak jelas asalnya. Suara-suara itu bisa berujung pada gangguan pikiran, menghilangnya konsentrasi, dan melemahnya daya ingat seseorang.

Selasa, 11 September 2018

Ahli:Ada Niat Bunuh Diri Berarti Punya Masalah Kesehatan Jiwa

Jakarta, CNN Indonesia -- Bunuh diri bukanlah jalan pintas mengakhiri derita hidup. Orang yang berniat bunuh diri atau sudah melakukannya memiliki persoalan penting yang harus diselesaikan yakni gangguan kesehatan mental. 

Sehingga, solusi yang tepat bukanlah melanjutkan bunuh diri, melainkan mencari pertolongan memperbaiki kesehatan mental.

Spesialis kedokteran jiwa Eka Viora menjelaskan orang yang punya niatan bunuh diri, sudah berada pada kondisi yang akut dan memiliki tindakan yang agresif untuk mengakhiri hidup.

"Orang sehat enggak bakal bunuh diri. Kalau sudah berpikiran negatif, hidup enggak penting lagi, putus asa, itu gejala depresi berat. Jadi, enggak ada orang bunuh diri itu yang sehat, pasti orang sakit kalo dari segi kesehatan mental," kata Eka dalam South East Asia Mental Health Forum 2018 di Jakarta, Kamis (30/8). 

Eka yang menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia itu menyebut keinginan untuk bunuh diri tidak berkaitan dengan pekerjaan dan agama seseorang. Menurutnya, setiap orang rentan terhadap bunuh diri dan berkewajiban saling mengingatkan agar menjauhi pikiran tersebut.

"Pekerjaan apa saja. Semua kita rentan tergantung daya tahan untuk menghadapi masalah tersebut. Jangan juga dibilang karena kurang beriman, tambah ingin bunuh diri dia. Dia enggak kuat menghadapi kehidupan, makanya kita harus perkuat dia," tutur Eka. 

Berdasarkan data WHO pada 2017, bunuh diri menjadi penyebab kematian tertinggi nomor dua di dunia pada kalangan remaja dan dewasa usia 15-29 tahun. Total, tercatat lebih dari 800 ribu kematian pertahun atau satu kematian setiap 40 detik.

Di Indonesia, kejadian bunuh diri mencapai 5.000 kematian pada 2010 dan meningkat dua kali lipat pada dua tahun terakhir.

Agar terhindar dari bunuh diri, Eka menyarankan setiap orang harus mencari pertolongan memperbaiki kesehatan mental dengan menghubungi para ahli seperti dokter atau psikiater.

Di sisi lain, Eka pun tak menampik jumlah psikiater dan puskesmas yang mampu menangani masalah kejiwaan di Indonesia masih terbatas. Saat ini, distribusi psikiater di 66 persen masih menumpuk di Pulau Jawa dan 22 persen diantaranya di Jakarta. Hanya 34 persen psikiater yang ada di luar Jawa.

"Masalah depresi jangan dianggap enteng. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau mengenal orang-orang dalam kondisi itu, Anda disarankan menghubungi pihak yang bisa membantu, misalnya saja Komunitas Save Yourselves https://www.instagram.com/saveyourselves.id, Yayasan Sehat Mental Indonesia melalui akun Line @konseling.online, atau Tim Pijar Psikologi https://pijarpsikologi.org/konsulgratis"

15,8 Persen Keluarga Hidup dengan Penderita Gangguan Mental

Kondisi kesehatan mental kini tak lagi bisa dianggap remeh. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan penyakit atau kecacatan lain yang timbul pada tubuh.

Di Indonesia, kondisi kesehatan mental masih menjadi salah satu isu yang dikesampingkan. Padahal, secara jumlah, penderita gangguan mental terus meningkat. 

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang. Angka ini setara dengan 6 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400 ribu.

Tingginya angka penderita gangguan jiwa pun berjalan beriringan dengan sejumlah kasus bunuh diri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2015. 

Pemerintah sendiri telah memasukkan gangguan mental yang terobati sebagai salah satu dari 12 indikator pendekatan kesehatan keluarga. Beberapa contoh gangguan kesehatan mental berat di antaranya skizofrenia dan bipolar.

Indikator itu dipantau melalui Aplikasi Keluarga Sehat yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI pada 2015 lalu.

"Sebanyak 15,8 persen keluarga memiliki penderita gangguan jiwa berat yang diobati dan tidak diobati," ujar Konsultan Health Policy Unit, Setjen Kementerian Kesehatan, Trihono, pada Southeast Asia Mental Health Forum 2018 di Jakarta, Kamis (30/8).

Namun, angka itu tak mencakup keseluruhan keluarga di Indonesia. Hingga 7 Juli 2018, baru tercatat sebanyak 13 juta keluarga yang dipantau dan terdata dalam aplikasi. Angka itu hanya mencakup 20,24 persen dari seluruh keluarga di Indonesia.

Hasil data Aplikasi Keluarga Sehat itu mengasumsikan ada satu kasus gangguan mental berat dalam satu keluarga. Hasilnya, terdapat 85.788 orang dengan gangguan mental berat. 

Dari jumlah itu, sebanyak 37.013 penderita gangguan mental berat mendapat pengobatan. Sementara 13.204 lainnya justru diasingkan.

Trihono meyakini bahwa jumlah itu masih terbilang kecil lantaran berbagai faktor. Mulai dari stigma 'gila' dan tak bisa diobati, kekurangan tenaga medis, hingga keterbatasan obat yang tersedia.*cnnindonesia.com

Minggu, 03 April 2011

Gangguan Jiwa Posisi Kedua Setelah Penyakit Kardiovaskular

Gangguan jiwa mengakibatkan beban dana sosial untuk kesehatan masyarakat meningkat. Kini, posisinya di urutan kedua setelah penyakit kardiovaskular. Gangguan jiwa bisa berupa gangguan jiwa ringan seperti depresi sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia.

”Pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s) kelima, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, berperan penting untuk menekan dana sosial akibat gangguan jiwa,” kata Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, dokter spesialis kesehatan jiwa Eka Viora, Sabtu (2/4), kepada wartawan di Bogor, Jawa Barat.

Eka merintis pembentukan komunitas bagi keluarga penderita gangguan kejiwaan yang selama ini dirawat di rumah sakit itu. Sekitar 200 keluarga penderita gangguan kejiwaan, Sabtu, bertemu di Istana Negara Bogor, dilanjutkan dengan pertemuan dinamika kelompok di Kebun Raya Bogor.

Peran Keluarga

Sejumlah anggota kelompok pemeduli kesehatan jiwa, yaitu Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), turut hadir dalam pertemuan. Menurut Eka, pertemuan itu menekankan pentingnya pengetahuan dan peranan keluarga terhadap penanganan gangguan kejiwaan.

”Gangguan jiwa ringan seperti depresi bisa menurunkan produktivitas sehingga beban dana sosial untuk kesehatan meningkat,” kata Eka.

Saat ini sedikitnya 300 pasien (60 persen) yang ditangani rumah sakit itu dalam kategori membutuhkan jaminan kesehatan dari pemerintah, ujar Eka.

Menurut dia, ibu berperan penting dalam pemeliharaan keluarga. Ibu yang sehat dan cukup berpengetahuan akan mampu memastikan kesehatan anak. Setidaknya, mendeteksi dini gangguan jiwa agar segera diobati.

Data pada 2007 menunjukkan, angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup. Ini masih jauh dari target MDG’s pada tahun 2015, yakni angka kematian ibu 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Perhatian Pemerintah

Ketua Umum PJS Yeni Rosa Damayanti mengatakan, sekarang saatnya menuntut pemerintah memberikan perhatian lebih kuat terhadap lapisan masyarakat yang menangani persoalan kesehatan jiwa. Produk legislasi agar diwujudkan untuk berpihak pada setiap upaya penanganan gangguan kejiwaan.

Bagus Utomo, Ketua Umum KPSI, menekankan pentingnya menghapus stigma negatif terhadap penderita gangguan jiwa. Stigma ”gila” terhadap penderita skizofrenia perlu dihapus karena penyakit itu dapat disembuhkan, setidaknya dapat dikendalikan, sehingga penderita dapat hidup sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor yang berdiri tahun 1882 merupakan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia. Dalam perkembangannya, rumah sakit itu kini masih mengutamakan penanganan gangguan kejiwaan selain penanganan kedokteran umum. (kompas.com)

Surat Keterangan Akreditasi FKM UNDIP

Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi tentang Akreditasi FKM UNDIP... Silahkan download file di bawah ini... file sudah saya perb...

Find Us on Facebook

Blog Archives

Do Before You Die

Do Before You Die

Visitors


pinjaman utang