Dunia Kerja Tak Dukung ASI Eksklusif
Gencarnya gerakan untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif belum sepenuhnya mendapat dukungan dari dunia kerja. Ini terbukti masih banyak ibu pekerja terutama di sektor formal mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya akibat keterbatasan waktu dan ketersediaan fasilitas menyusui di tempat kerja.
“Jadi mau tidak mau banyak ibu yang bekerja terpaksa beralih ke susu formula dan menghentikan memberi ASI secara eksklusif. Padahal salah satu upaya mendasar menjamin pencapaian kualitas tumbuh kembang anak secara optimal sekaligus memenuhi hak anak dengan pemberian ASI sejak lahir hingga usia dua tahun,” kata Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dr dr Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, dihubungi Kamis (29/9).
Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004-2009 memang menyebutkan, pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi di bawah 6 bulan (0–6 bulan) meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi 61,3% pada tahun 2009. Begitu juga dengan cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif terus menerus dari usia 0 sampai 6 bulan juga meningkat dari 19,5% tahun 2005 menjadi 34.3% pada tahun 2009. “Meski terdapat kenaikan cakupan, tetapi keadaan ini belum menggembirakan,” katanya.
Ini mengingat, lanjut Slamet, jumlah pekerja perempuan di Indonesia mencapai sekitar 40,74 juta jiwa dengan jumlah pekerja pada usia reproduksi berkisar sekitar 25 juta jiwa yang kemungkinan akan mengalami proses kehamilan, melahirkan dan menyusui selama menjadi pekerja,” jelasnya.
Ia mengharapkan, kerja sama dengan pengusaha untuk memberikan kebebasan bagi para pekerja perempuan dengan menyediakan tempat dan waktu untuk memberikan ASI pada bayinya paling tidak selama 6 bulan awal. “ Dibutuhkan perhatian yang memadai agar status ibu yang bekerja tidak lagi menjadi alasan untuk menghentikan pemberian ASI Ekslusif. Sebab dalam pemberian ASI salah satu tantangan kita adalah upaya meningkatkan cakupan pemberian ASI secara eksklusif”, ujarnya.
Upaya-upaya tersebut, kata Slamet, seperti memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan yang masih menyusui untuk memberikan ASI kepada bayi/anaknya selama jam kerja, menyediakan tempat untuk menyusui bayinya berupa ruang ASI dan tempat penitipan anak. “Apabila kondisi tempat kerja memungkinkan untuk membawa bayi/anaknya, atau menyediakan ruang dan sarana prasarana untuk memerah ASI dan menyimpan ASI ditempat kerja, agar ibu selama bekerja tetap dapat memerah ASI untuk selanjutnya dibawa pulang setelah selesai bekerja,” tuturnya.
Apalagi hal ini dilindungi Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, dan didukung oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 83 menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilaksanakan selama waktu kerja, “Saat ini, untuk menguatkan hal tersebut Kementerian Kesehatan sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Air Susu Ibu sebagai dasar pelaksanaan kebijakan tersebut,” katanya.(surabayapost.co.id)