journey healthy future

Tampilkan postingan dengan label Kejiwaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejiwaan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 November 2018

Kurangi Stres dengan Batasi Penggunaan Media Sosial 30 Menit

Asyik seharian bermain dengan media sosial di layar gawai mungkin menyenangkan. Media sosial bak candu pelepas penat bagi kebanyakan orang. 

Namun, sejumlah penelitian telah mengkorelasikan penggunaan media sosial dengan risiko kesehatan mental seperti kesepian dan depresi. Teranyar, sebuah studi menyebutkan bahwa mengurangi intensitas bermain media sosial bisa mengurangi depresi dan rasa kesepian.

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology ini mencoba mencari bukti apakah orang-orang benar-benar menjadi lebih baik dengan mengurangi kegiatan media sosial.
"Temuan kami menyarankan untuk membatasi penggunaan media sosial hingga sekitar 30 menit per hari dapat menjauhkan diri dari depresi," ujar tim penulis dari University of Pennsylvania, mengutip Quartz.

Para peneliti menjadi 143 mahasiswa sarjana sebagai sampel penelitian untuk dua percobaan yang berbeda. Penelitian pertama dilakukan di musim semi, sementara yang lainnya di musim gugur.

Setiap subjek memiliki akun Facebook, Instagram, dan Snapchat dengan iPhone sebagai gawainya yang mampu melacak total waktu yang dihabiskan untuk bermain setiap media sosial yang dimiliki.

Peneliti memantau siswa selama sepekan untuk mendapatkan dasar dari penggunaan media sosial mereka. Peneliti juga memberikan mereka kuesioner yang menilai kesejahteraan mental mereka menurut tujuh faktor berbeda seperti dukungan sosial, rasa takut akan kehilangan, kesepian, penerimaan diri, kecemasan, depresi, dan harga diri.

Selanjutnya, selama tiga pekan berikutnya, satu kelompok secara acak ditugaskan untuk tetap menggunakan media sosial. Sementara kelompok lain diminta untuk membatasi penggunaan masing-masing media sosial hingga 10 menit per hari.

Pemimpin penelitian, Mellisa G Hunt, mengatakan bahwa menggunakan lebih sedikit waktu untuk media sosial dapat memberikan penurunan signifikan pada depresi dan kesepian. "Efek ini sangat terasa bagi orang-orang yang lebih tertekan ketika mereka datang ke ruang kerja," ujarnya, mengutip Science Daily.

Mengurangi lama waktu penggunaan media sosial dianggap sebagai pilihan yang realistis dibanding berhenti menggunakannya sama sekali. 

"Ini sedikit ironis, mengurangi penggunaan media sosial justru membuat Anda bisa menurunkan rasa kesepian," kata Hunt. 

Namun, ketika digali lebih dalam, hal itu disebabkan oleh beberapa dampak negatif yang dimiliki media sosial. Apa yang dilihat di media sosial setidaknya akan mendistraksi pikiran seseorang. 

"Ketika Anda melihat kehidupan orang lain, terutama di Instagram, mudah bagi Anda untuk menyimpulkan bahwa kehidupan orang lain lebih baik daripada Anda," jelas Hunt.

Namun, langkah mengurangi penggunaan media sosial tak berpengaruh terhadap beberapa faktor kesejahteraan mental yang jadi acuan seperti dukungan sosial, harga diri, dan penerimaan diri. 

Studi ini juga dinilai masih terbatas lantaran tak memantau penggunaan platform media sosial lainnya seperti Twitter dan penggunaan media sosial dalam gawai pribadi mereka yang lain. 

"Penelitian kami adalah yang pertama, ada banyak peluang untuk penyelidikan lebih lanjut," ujar Hunt.

Kesimpulan ini setidaknya selaras dengan beberapa penelitian sebelumnya. Mengutip Psycom, studi terpisah yang dilakukan oleh University of Pittsburgh School of Medicine menemukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di media sosial, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami masalah tidur dan gejala depresi. CNN 

Senin, 03 Maret 2014

Anak yang Sering Mimpi Buruk Berisiko Alami Gangguan Kejiwaan saat Remaja

Jakarta, Anak mengeluhkan mimpi buruk yang semalam menghantui? Wajar, Anda tak perlu cemas. Tetapi, Anda perlu waspada jika mimpi buruk terjadi terus menerus bahkan hingga anak berusia 12 tahun.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang sering mengalami mimpi buruk berisiko lebih besar mengalami psikosis atau gangguan kejiwaan. Psikosis merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi.

Penelitian menunjukkan mimpi buruk pada anak berusia 12 tahun memperbesar risiko terjadinya gejala psikosis seperti halusinasi dan delusi. Anak-anak berusia dua hingga sembilan tahun yang sering terganggu oleh mimpi buruk juga lebih mungkin menderita psikosis dibandingkan mereka yang tidurnya tidak terganggu.

Meski demikian, para peneliti mengingatkan agar para orang tua tidak terlalu cemas. Sebab mimpi buruk sering terjadi di kalangan anak-anak. Mimpi buruk itu akan menghilang seiring mendewasanya usia.

"Kami tidak ingin membuat para orangtua cemas karena berita ini. Tiga dari empat anak mengalami mimpi buruk pada usia semuda itu," ungkap pimpinan tim penelitian, Professor Dieter Wolke, dari Universits Warwick.

"Akan tetapi, mimpi buruk dalam jangka waktu lama, atau jika serangan teror yang terus berlanjut hingga remaja, bisa jadi merupakan pertanda awal akan sesuatu yang penting di kemudian hari," imbuhnya sebagaimana dilansir Daily Mail dan ditulis pada Senin (3/3/2014).

Dalam studi itu, ia dan timnya merekrut lebih dari 6.700 anak-anak. Seperempat grup anak-anak yang berusia 12 tahun mengaku mengalami mimpi buruk dalam enam bulan terakhir. Sedangkan anak-anak yang mengalami teror jumlahnya kurang dari 10 persen. Teror pada anak sering ditandai dengan jeritan kencang atau duduk tegak dalam keadaan panik secara tiba-tiba.Next

(vit/vit)


Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | RFID | Amazon Affiliate

View the original article here

Surat Keterangan Akreditasi FKM UNDIP

Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi tentang Akreditasi FKM UNDIP... Silahkan download file di bawah ini... file sudah saya perb...

Find Us on Facebook

Blog Archives

Do Before You Die

Do Before You Die

Visitors


pinjaman utang