Menyoroti Kebijakan Obat Nasional
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk menyejahterakan rakyatnya. Salah satunya di bidang kesehatan masyarakat. Dan salah satu unsur yang memegang peranan penting terhadap kesehatan masyarakat adalah keterjangkauan obat yang beredar di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan sebuah kebijakan obat nasional untuk mengontrol harga obat di Indonesia. Kebijakan tersebut harus mencakup berbagai regulasi yang mengatur seluruh pemangku kepentingan dalam kesehatan masyarakat.
Sayangnya regulasi mengenai kebijakan obat di Indonesia tidak hanya mengedepankan sektor kesehatan masyarakat semata, tetapi juga dipengaruhi kepentingan industri. Banyaknya jumlah investor yang masuk di dalam industri farmasi nasional dianggap sebagai progress yang baik di bidang industri. Para pejabat di Kementerian Kesehatan, terutama di masa lalu, menganggap bahwa dengan semakin banyaknya merek obat yang beredar di pasar akan menciptakan persaingan pasar yang nantinya berdampak pada turunnya harga obat. Mereka menyamakan perdagangan produk obat dengan produk konsumsi lainnya, dimana semakin banyak merek semakin murah harganya.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Dalam produk konsumsi, seperti baju, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama sekali tidak tahu mana yang harus ia beli, mana yang paling cocok dengan penyakitnya, dan mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter.
Dengan kendali penentuan resep obat yang berada di tangan dokter, hukum persaingan pasar menjadi tidak berlaku untuk obat etikal. Karena pada praktiknya, banyak dokter yang justru meresepkan obat originator yang harganya bisa sepuluh kali lipat harga obat generik. Dan ini juga dipengaruhi oleh faktor psikologis pasien yang pada umumnya menginginkan obat yang dianggap paling mujarab, walau harganya mahal.
Terlalu mudahnya pemerintah memberi izin bagi para pelaku industri farmasi (terutama lokal) untuk memproduksi obat, membuat jenis obat yang beredar di Indonesia menjadi terlalu banyak. Tercatat setidaknya saat ini di Indonesia terdapat sekitar 15.000 merek obat dengan lebih dari 200 perusahaan obat. Padahal, menurut Sulastomo, mantan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), 800-1.000 nama generik dan dagang sudah bisa memenuhi kebutuhan pengobatan/medik secara nasional.
Banyaknya jenis obat yang beredar saat ini, ditambah dengan tidak adanya kebijakan yang terarah, membuat beberapa produsen farmasi lokal bebas menentukan harga produk. Pada umumnya mereka menentukkan harga produk mereka mendekati harga produk obat originator. Padahal, berbeda dengan industri penemu, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan riset awal.
Akibatnya tren harga obat tidak menurun, karena hukum persaingan pasar tidak berlaku. Para produsen obat originator yang masa patennya telah habis merasa tidak perlu untuk menurunkan harga obat mereka, karena pesaing lokal mereka menetapkan harga yang mendekati harga obat paten tersebut.
Hal ini juga diperparah dengan ketidakpercayaan sebagian dokter dan juga masyarakat terhadap kualitas dan khasiat obat generik. Banyak diantara mereka, terutama di kalangan masyarakat sendiri, yang menyangsikan bahwa obat dengan harga yang jauh lebih murah dari harga obat originator memiliki khasiat yang sama. Padahal, obat generik menggunakan bahan aktif yang sama dengan obat originator atau obat generik bermerek.
Untungnya, kini regulasi Permenkes 1799/2010 telah mewajibkan para industri farmasi asing untuk membuat pabrik di Indonesia. Jadi, mereka bukan hanya sekedar menjadi agen, dan bisa dengan bebas mendaftarkan mereknya ke BPOM. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memicu kesempatan transfer knowledge atas riset dan pembuatan obat-obatan berkualitas atas berbagai jenis penyakit.
Tapi toh, obat yang sudah beredar di Indonesia sudah terlanjur melimpah ruah, sehingga membuat pasar farmasi nasional tidak efektif. Karena itu BPOM harus betul-betul menjadi regulatory body yang sangat powerful, yakni instansi yang dapat secara tegas mengatur dan menyeleksi obat-obat yang boleh beredar di Indonesia. Pengurangan jumlah obat yang beredar di Indonesia diharapkan bisa membuat masyarakat mendapatkan obat-obatan yang benar-benar mereka butuhkan.
Pemerintah juga perlu membuat regulasi yang mengatur penetapan harga obat generik bermerek. Dengan adanya sebuah rambu penetapan harga, produsen obat generik bermerek tidak bisa seenaknya menetapkan harga obat mereka menyamai harga obat originator. Dan hal itu akan berdampak kembali berjalannya hukum persaingan pasar, dimana produsen obat originator mau tidak mau harus menyesuaikan harga obat mereka dengan pasar.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyosialisasikan bahwa obat generik juga memiliki kualitas dan khasiat yang sama dengan obat originator. Pemerintah harus bisa membangun paradigma masyarakat bahwa obat yang berkhasiat tidak harus selalu memiliki harga yang selangit. Dengan terbentuknya paradigma masyarakat yang tepat mengenai obat generik, diharapkan penggunaan obat generik bisa semakin banyak, sehingga harga obat juga bisa turun. (kabarindonesia.com)

