journey healthy future

Rabu, 06 April 2011

Hari Kesehatan se-Dunia di Tengah Bermacam Endemik

Setiap tahun, dunia melalui lembaga World Health Organization (WHO) merayakan hari kesehatan se-dunia pada tanggal 7 April dengan tujuan menggugah dan mengingatkan seluruh umat manusia untuk selalu menjaga ‘hartanya’ yang paling berharga yakni kesehatan. Sekaya dan sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, namun tanpa kondisi fisik yang prima tentu tidak akan memberikan makna yang besar dalam hidup. Artinya, sehat itu jika dinominalkan dan diukur dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan, perawatan kesehatan dan besarnya ganti rugi produktivitas yang hilang karena sakit, jumlahnya tidak ternilai. Coba kita lihat, biaya pengobatan untuk penyakit seperti jantung, lever, kanker, tumor ganas dan lain-lain yang sudah mencapai angka ratusan juta rupiah plus lelahnya menjalani proses tentunya. Michael Grossman (1972) mengatakan bahwa kesehatan merupakan modal dasar hidup produktif.

Di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa (Inggris, Prancis, dan lain-lain), China dan negara-negara kaya minyak di jazirah Arab mengakui bahwa usaha menurunkan angka penderita sakit akan mengurangi angka hari non-produktif, ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya lost of productivity sehingga kemandirian ekonomi justru dibangun dari fondasi kesehatan. Negara-negara maju, di dalam blue-print manifesto pembangunannya mengakui bahwa kesehatan merupakan pilar terpenting sebuah negara. Ini berimplikasi terhadap kebijakan negara yang menyediakan anggaran sangat besar untuk pendirian sekolah kedokteran, laboratorium obat, riset dan kampanye promosi kesehatan.

Di antara problematika pelik yang kita hadapi saat ini adalah begitu minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan bersama. Kesadaran dan partisipasi yang minimal ini disebabkan oleh banyak variabel, namun yang paling mendasar tentu juga karena disebabkan oleh minimnya kebijakan politik ke arah sana. Sebagai contoh, persentase penderita demam berdarah tidak kunjung mengalami penurunan. Case Fatality Rate (CFR) selalu berkisar di antara angka 15-23%, yang menunjukkan bahwa hampir 25% penderita setiap tahunnya berakhir dengan kematian. Sebagai pembanding, pada tahun 2006 saja terjadi peningkatan kasus hingga 111.730 kasus dengan 1.152 penderita meninggal dunia. Sejauh ini, alokasi dana yang disediakan untuk kampanye pencegahan demam berdarah nasional (sekitar 50 miliar/tahun) dengan sebaran demografi yang sangat luas dan akses media yang belum merata tentu terbilang sangat minim. Media televisi sebagai media dengan kemampuan penetrasi tertinggi di dalam masyarakat kita yang tradisi membacanya masih terbilang rendah, belum cukup banyak memberikan ruang untuk kampanye kesehatan. Stasiun-stasiun tv kita hanya menyediakan antara 0,25% - 3% saja setiap harinya untuk program kesehatan.

Sekarang kita dapat melihat terdapat begitu banyak penyakit yang ‘mengepung’ dan berpotensi menjadi endemik bahkan pandemik seperti DHF. Di wilayah DIY-Jateng, penyakit antraks dan Leptospirosis sudah masuk klasifikasi Keadaan Luar Biasa (KLB), namun masyarakat meresponsnya dengan senyap meskipun sudah berjatuhan korban jiwa. Perlu kerja sama pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan penanganan masalah kesehatan. Di Bojonegoro, satu kabupaten di serang hama ulat bulu. Sejauh ini pihak pemerintah terkait yang turun ke lapangan baru Departemen Pertanian dan belum di back-up oleh Dinkes setempat. Padahal, seperti halnya hewan lainnya (nyamuk vektor DHF dan malaria, tikus vektor leptospirosis, unggas vektor flu burung) juga ulat berpotensi mengganggu kesehatan.

Di beberapa kabupaten di Kalimantan, korban muntaber dan disentri berjatuhan akibat penurunan kualitas air bersihnya. Di Jakarta sebagai ibu kota negara, bahkan angka korban leptospirosis dan chikungunya cukup tinggi sebagai efek terusan dari siklus banjir tahunan. Di Papua, hingga hari ini penyakit malaria terus saja memakan korban. Seharusnya, problematika ini sudah teratasi mengingat Papua identik dengan malaria sudah diketahui sejak zaman penjajahan Belanda.



Dapat kita simpulkan bahwa sebagai bangsa, kualitas kesehatan masyarakat kita belum dapat dikatakan maju atau berhasil. Karenanya, momentum peringatan hari kesehatan se-dunia ini mengingatkan pemerintah, legislatif dan pengelola media massa harus lebih peduli terhadap berbagai kebijakan kesehatan. Artinya, masalah dinamika politik, ekonomi, isu luar negeri bahkan olahraga merupakan masalah penting yang perlu direspons dan disikapi. Namun, sebagaimana yang dituliskan di awal tulisan ini bahwa sebuah negara akan maju jika masyarakatnya secara umum sehat karena produktivitas kerja dan berbagai potensi bakat anak bangsa bisa mencapai puncaknya jika ditopang oleh kondisi kesehatan yang prima. Sudah saatnya kita lebih peduli dengan isu-isu kesehatan yang berkembang di sekitar kita dan menerjemahkannya dalam kebijakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat luas. Tanpa upaya yang ekstra keras untuk menyehatkan bangsa, maka selamanya kita akan menjadi bangsa yang medioker dan tidak akan maju. Usaha-usaha itu harus dilakukan segera, sebelum kondisinya menjadi lebih sulit dan kompleks untuk dihadapi.(kr.co.id)

Penulis
dr. Titik Kuntari MPH,

Pemerhati Kesehatan Masyarakat dan Wakil dekan Fakultas Kedokteran UII Yogya

Related Posts:

Comments
0 Comments

0 comments:

Posting Komentar

Surat Keterangan Akreditasi FKM UNDIP

Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi tentang Akreditasi FKM UNDIP... Silahkan download file di bawah ini... file sudah saya perb...

Find Us on Facebook

Blog Archives

Do Before You Die

Do Before You Die

Visitors

107,117

pinjaman utang